Rabu, 22 Mei 2013

PELATIHAN MANAJEMEN KASUS DALAM PENANGANAN HIV DAN AIDS


RSJ Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang bekerja sama dengan United State Agency for International Development (USAID) Indonesia menggelar acara Pelatihan Manajemen Kasus Dalam Penanganan HIV dan AIDS melalui program SUM II.

USAID Indonesia melalui Program SUM II menjalin kerjasama dengan RSJRW Lawang dimana RSJRW Lawang berperan sebagai salah satu institusi pemerintah yang ikut serta dalam penanggulangan ketergantungan NAPZA dan menyediakan Rehabilitasi Penanggulangan Ketergantungan NAPZA.
Bertempat di Guest House RSJRW Lawang, pelatihan yang diikuti oleh 20 orang peserta yang terdiri dari Konselor yang berasal dari beberapa LSM yang ada di Surabaya, Malang, dan Kediri, dan Penyuluh Kesehatan Napza RSJRW Lawang ini digelar selama lima hari yaitu 20 s/d 24 Mei 2013.
Strategi dan Rencana Aksi Nasional (SRAN) Penanggulangan HIV dan AIDS 2010–2014 menegaskan bahwa tujuan utama upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia adalah menekan terjadinya penularan baru, meningkatkan kualitas hidup orang dengan HIV serta mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat HIV dan AIDS pada individu, keluarga dan masyarakat.
United State Agency for International Development (USAID) Indonesia mempercayakan pengelolaan dan pelaksanaan program AIDS Project  Management Group (APMG) kepada Program SUM II. Program SUM (Scaling Up the HIV Response among Most-at-risk Populations) II adalah bentuk dukungan dan kerjasama pemerintah Indonesia dan Amerika dalam upaya penanggulangan HIV di Indonesia yang berjalan mulai tahun 2010 sampai 2015. Program ini dirancang untuk meningkatkan cakupan intervensi efektif, komprehensif, terintegrasi dan berkelanjutan dengan menyediakan dukungan kepada instansi pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bekerja dalam program pengendalian HIV/AIDS.
            Ditemui dalam kesempatan yang sama, Meytha Nuraeni, Regional Coordinator, East Java, Scalling Up For Most at Risk Population (SUM) 2 USAID Project yang juga sebagai salah satu narasumber menyatakan “Ada empat kelompok resiko yang didampingi oleh kelompok ini, yakni gay, waria, PSK dan pengguna narkotik terutama pengguna dengan cara penyuntikan, mereka kebanyakan adalah orang-orang marginal yang tidak mudah melakukan komunikasi dengan orang awam. Program SUM I berperan sebagai tenaga penguat layanan program, dari klinis sampai pada perubahan perilaku. Mekanisme grants ke LSM dari small grants sampai ARV ( Antiretroviral) (*obat anti HIV) sampai dengan Home Base Care” ujarnya.
Di Jawa Timur, ada KPA (Komunitas Peduli AIDS) yang bekerjasama dengan Kota Malang, Kediri, Yayasan Orbit, Perwakos, Genta,  Paramitra, Kakawamar, SUAR dan organisasi lainnya. SUM 1 bertugas  memberikan edukasi, tes dini, layanan dukungan, penengah antara penderita dengan keluarga/layanan kesehatan, perawatan sampai dengan after care, mencari menunjukkan dan mengarahkan ke dalam fase terminal (rohani). Dan SUM II berperan untuk memberikan bantuan taget dalam kinerja organisasi requaired untuk meningkatkan efektif, intervensi HIV terpadu yang mengarah ke substansial dan terukur perubahan perilaku di kalangan populasi MARPs, serta menyediakan dan memantau small grants kepada organisasi masyarakat sipil yang berkualitas untuk mendukung scale up intervensi terpadu di "hotspot", di mana ada konsentrasi tinggi pada satu atau lebih paling populasi berisiko dan perilaku berisiko tinggi.
“Korban kebanyakan diisolasi oleh masyarakat dan sebelum ARV diharuskan ada tes kesehatan (check up) keseluruhan yang otomatis membutuhkan biaya lumayan besar. Mudin kebanyakan tidak mau memandikan jenazah, jadi ada anggota yang lalu menjadi relawan. Yang menjadi PR kami, adalah bagaimana organisasi mampu mengelola dana anggaran agar kegiatan atau program dapat terus berjalan”terangnya lagi.
Harapan dari kegiatan pelatihan ini adalah terlaksananya program penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia melalui Manajemen Kasus pada penderita Napza, terpenuhinya kebutuhan sumberdaya yang kompeten di Unit NAPZA RSJRW, serta agar peserta lebih mengerti akan Management Kasus, Ada semangat perubahan, meningkatkan ketrampilan, mampu memberikan penanganan pertama, dapat menambah jejaring, dan mampu memfasilitasi teman-teman lain di komunitasnya. (saras)

WORKSHOP IDENTIFIKASI, ANALISIS, DAN PENGENDALIAN RESIKO



Dalam lima unsur yang telah dilakukan pengawasan oleh Tim Itjen Kemenkes RI beberapa waktu lalu, ada klasifikasi penilaian resiko di RSJ Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang (RSJRW) yang berada dalam zona merah, beberapa lagi ada dalam zona hijau. Hal ini dikarenakan belum ada identifikasi resiko, indikasi, pemetaan dan pemahaman mengenai Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP).
Oleh karena itu,dalam rangka peningkatan pelayanan maka pada Rabu s/d Kamis (15-16 Mei 2013) diadakan Workshop Identifikasi, Analisis dan Pengendalian Resiko. Bertempat di Ruang Arjuna RSJRW, workshop yang diikuti oleh 90 orang peserta yang terdiri dari struktural, fungsional, kepala ruang, komite etik dan hukum, dan komite medik ini di narasumberi oleh Tim Itjen Kemenkes yang diketuai oleh Drs.Wiyono Budiharjo,MM, Inspektorat I Irjen Kemenkes RI.
Dalam pengelolaan Rumah Sakit di era modern hal ini penting karena banyak hal dalam pelayanan yang dilakukan bisa menjadi komplain masyarakat yang dapat dikembangkan menjadi sanksi-sanksi hukum. Di RSJRW, SPIP masih dalam tahap pemetaan, disamping itu pemahaman pegawai akan SPIP masih kurang sehingga lemah dalam penerapan unsur-unsurnya.  Sedangkan harapan dari lahirnya SPIP adalah seluruh satuan kerja mengerti dan memahami serta menerapkannya dalam setiap kegiatan.

Dalam workshop juga dipaparkan sosialisasi PP 60 tahun 2008 mengenai implementasi SPIP pada satker. SPIP bukan hal yang asing dalam satker, pengawasan intern diatur dalam PP Nomor 60 th 2008 pasal 1 ayat 3. SPIP adalah salah satu instrumen untuk ketertiban satuan kerja.
Dengan dilaksanakannya workshop ini diharapkan dapat menghasilkan karya untuk dapat disepakati bersama mengenai dokumen, administrasi dan lainnya yang bermakna bagi RSJRW untuk bisa memecahkan masalah di RS berdasarkan solusi dan rekomendasi yang membangun. Sehingga pihak dari RS juga merasa terbantu untuk dapat mencapai visi dan misi organisasinya, serta menciptakan suasana keterbukaan dan kejujuran.
Hasil pengawasan Irjen selanjutnya dapat menjadi input decision maker bagi manajemen, untuk mendorong terselenggaranya tertib administrasi. SPI yang ada di RS diharapkan tidak hanya melakukan pengawasan secara konstruktif tetapi juga dapat menjadi pintu masuk bagi aparat pengawasan Irjen. Pengawas bukan mencari-cari kesalahan, tetapi menilai,mengevaluasi program kegiatan (keberhasilan dan kegagalan) mengenai program / kegiatan dan keuangan dari perencanaan pelaksanaan dan pelaporan. Hal ini merupakan bagian dari siklus manajemen untuk pimpinan, agar pelaksanaan kebijakan sesuai dengan rencana dan aturan-aturan yang ada. (saras)